Interviews

“Agama yang tidak menyentuh perbaikan masyarakat, itu percuma” – Wawancara dengan Said Aqil Siradj

Berhubung masih dalam suasana lebaran, dan juga masih (dan akan memasuki lagi) suasana pemilu presiden, saya mau share wawancara saya dengan seorang tokoh yang mengambil tema Idul Fitri.

Kali ini dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj.

Saat melakukan wawancara ini, saya merasa ada hal yang menarik untuk digali, yaitu bagaimana seharusnya kita mengarahkan perjalanan bangsa ini setelah melalui sebuah pemilu yang begitu penuh dengan dinamika, dan menangkap momentum “lebaran”, sebuah momentum yang sangat dahsyat dampaknya bagi ratusan juta rakyat Indonesia, dalam mencapai tujuan itu. Tema #Lebaran adalah salah satu tema yang “berhasil” mengalihkan fokus bangsa dari “pemilu” dan “presiden” (selain tema #THR tentunya :D)

Sejumlah hal menarik dari perbincangan ini menyinggung mengapa bangsa ini harus melakukan rekonsiliasi pasca pemilu, dan bagaimana para kontestan, baik yang menang, maupun yang kalah, harus menyikapi keadaannya. Menarik juga bagaimana tanggapan pak Said akan kemenangan Jokowi, mengingat ia secara terbuka mendukung Prabowo. Paragraf-paragraf terakhir juga menarik, bagaimana menurutnya kemiskinan seharusnya menjadi agenda utama pemerintah yang baru, karena tidak ada gunanya membangun masjid dan gereja yang besar dan bagus, kalau masyarakat sekitarnya tetap hidup dalam kemiskinan.

Wawancara ini diambil hanya beberapa hari sebelum lebaran tiba, dan telah ditayangkan di Kompas TV dalam program Kompas Malam pada hari lebaran (28 Juli 2014)

Seperti biasa, pertanyaan saya ditandai dengan huruf T, dan jawaban ditandai dengan huruf J.

Semoga berguna.


T:

Pak Said, terima kasih sudah bergabung bersama kami. Indonesia menyambut Idul Fitri. Ada sesuatu yang unik tahun ini karena kita baru saja melalui sebuah pemilihan yang sangat dinamis suasananya. Menurut anda bagaimana Indonesia memaknai hal itu di hari lebaran?

J:

Pertama, mari bersyukur pada Allah yang telah memberikan anugrahNya pada umat Islam khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya, yang telah berhasil melaksanakan ibadah puasa dengan baik dan tenang, dan melaksanakan agenda negara yaitu pilpres dengan aman dan nyaman. Bandingkan, bayangkan saudara-saudara kita yang di Timur Tengah. Di Irak misalkan. Tiap hari bom meledak, tiap hari ada nyawa melayang. 20, 25, 30 di bulan suci Ramadan ini. Begitu pula di Gaza. Bagaimana kekejaman Israel melakukan agresi penyerangan membabi-buta pada saudara-saudara kita yang ada di Gaza. Sebuah kota bersejarah, tempat kelahirannya Imam Syafi’i, Imam besar. Di Gaza kelahirannya. Alhamdulillah kita di Indonesia ini, umat islam menjalankan ibadah puasa dengan aman, nyaman, tentram. Begitu pula bangsa Indonesia menyukseskan akhirnya negara dalam rangka berdemokrasi memilih presiden periode 2014 – 2019 dengan lancar dan aman. Ini nikmat dan anugrah dari Allah yang harus kita syukuri dengan cara mari kita semakin solid, semakin kompak, mari kita junjung tinggi persaudaraan, baik persaudaraan ukhuwah islamiah, sesama umat Islam, maupun ukhuwah walthoniah sebangsa dan setanah air. Dan pada umumnya mari kita bangun ukhuwah insaniyah, persaudaraan sesama umat manusia.

T:

Kalau kita melihat bulan puasa yang berjalan bersamaan dengan masa kampanye, dan masa pemilihan. Tampaknya harus dua kali lebih kuat menahan emosi dan amarah. Anda melihat bangsa Indonesia berhasil melalui ini dengan baik?

J:

Jadi bulan puasa ini bulan dimana kita diuji kesabaran kita. Diuji sejauh mana kita menjalankan ibadah kepada Allah. Alhamdullilah bangsa Indonesia terutama umat islam, sukses melaksanakan ibadah, dan dengan kesabaran yang sangat baik.

T:

Jadi kalau menurut bapak, kita mungkin hanya merasa sedang menahan lapar, menahan haus, tapi sebenarnya di luar sana kondisinya jauh lebih buruk lagi.

J:

Dan mari kita ingat ke belakang. Tahun 8 Hijriah, Nabi Muhammad di bulan puasa berhasil pulang ke Mekkah dengan membawa pengikut sekitar 15 ribu orang sahabat dengan penuh kemenangan. Kemudian diantara sahabat ada yang berkata begini: “Hari ini kesempatan balas dendam!”. Kata sahabat, karena dulu kan disakiti ya, ada yang dibunuh. Nabi Muhammad segera mencabut perkataan sahabat itu. “Tidak benar itu. Yang benar: Hari ini adalah hari kita kembali mengikat, dan menyambung silahturahim yang selama ini putus.” Artinya, hari ini adalah hari rekonsiliasi. Kira-kira begitu.

T:

Ini cocok untuk Indonesia hari ini.

J:

Cocok untuk Indonesia juga. Itu bulan puasa pada tahun 8 Hijriah. Nabi Muhammad berhasil membangun rekonsiliasi masyarakat Mekkah yang dulu memusuhinya, yang dulu mengusirnya, bahkan menyiksanya, bahkan membunuh diantara sahabat nabi, tapi nabi Muhammad memaafkan semuanya. Sehingga akhirnya masyarakat Mekkah berbondong-bondong masuk Islam, solid, menjadi satu dibawah pemimpinan nabi Muhammad.

Disini kita analogikan, alhamdullilah, pilpres sudah berjalan dengan baik. Sudah terpilih presiden dan wakil presiden yang baru. Mari kita solid, kita bersatu, kedepan agar Indonesia bisa lebih baik lagi, lebih berhasil, lebih sejahtera. Maju, beradab, dan berbudaya dibawah pimpinan presiden yang baru, Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla.

T:

Ada suatu fenomena yang cukup menarik, mungkin bisa dikatakan disayangkan juga, pada saat menjelang pemilu presiden kemarin karena hanya ada dua calon jadi seakan-akan terbelah. Beberapa kata mungkin dengan disesali keluar dan menyakiti hati. Mungkin Pak Said ada pesan bagi mereka yang mungkin mau berbaikan, tapi terlanjur sakit?

J:

Itu namanya hawa nafsu. Itu namanya kepentingan. Jadi sebenarnya manusia sendiri itu bahasa arabnya kan “insan”. Insan itu artinya harmoni, intim, akrab. Jadi kalau ada dua orang manusia konflik, atau tegang, atau tidak saling menyapa, sudah satu minggu, itu masing-masing rindu, kangen ingin kembali lagi. Apalagi kita misalkan selama kampanye dua bulan, rasanya kok saling tegang, saling menyinggung perasaan. Sudahlah, itu lupakan, dan sekarang mari kita kembali sebagai manusia yang betul-betul insan, dan membangun keharmonisan hubungan dengan sesama manusia.

T:

Jadi sebenarnya dorongan itu ada ya.

J:

Iya, apalagi menjelang Idul Fitri, kita dengan doa yang selalui kita ucapkan: “Minal Aidin Wal Faidzin”. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang kembali ke Fitrah, atau tanpa dosa, putih bersih. Wal Faidzin dan menang melawan hawa nafsu, menang melawan egoistis, menang melawan kerakusan, ketamakan, permusuhan, hasrat, dengki, takabur, menang melawan hawa nafsu seperti itu.

T:

Jadi sebenarnya bisa dibilang cukup cocok ya, bagaimana pilpres baru saja berakhir, dan kita menyambut Idul Fitri, ini saat yang sangat pas.

J:

Untuk umat Islam, yang merayakan Idul Fitri. Mari kita tunjukkan kita umat yang beradab, yang berbudaya. Mengenyampingkan perbedaan, mari kita kembali, satu kata, satu barisan, satu sikap sebagai umat Islam, yang Quran nya satu, Kiblat nya satu, Nabinya Satu.

Screen Shot 2014-07-31 at 10.02.12 AM

T:

Salah satu hubungan yang sangat penting untuk direkatkan pak Said, adalah hubungan antara kedua calon presiden.

J:

Iya betul. Dan kedua tim suksesnya.

T:

Tim suksesnya juga, termasuk. Ada pesan bagi mereka pak?

J:

Ya mungkin bukan pesanlah. Paling-paling saya mengeluarkan pendapat atau gagasan saya. Bahwa jabatan itu amanah, kepercayaan dari Allah terutama. Kemudian kepercayaan dari rakyat. Apalah artinya amanat itu kalau tidak diemban dengan sepenuh hati, kalau tidak dengan tujuan yang baik, visi-misi yang mulia. Kalau hanya untuk kepentingannya pribadi, tidak ada artinya itu. Oleh karena itu, kepada pemenang pilpres, mari kita jaga, kita rawat, harus diemban amanat itu dengan sebaik-baiknya. Dijalankan dengan sebaik-baiknya. Agar Allah yang telah memberikan amanat tidak murka, tidak marah, dan rakyat yang telah memberikan amanat juga merasa puas dan tidak kecewa dengan pilihannya itu.

Kepada yang belum menang, kembali lagi, kita ini satu bangsa. Apalagi satu agama, apalagi satu ideologi Pancasila. Lupakanlah kekalahan itu, bukan berarti kalah, tapi kemenangan yang tertunda barangkali. Atau memang dalam pilihan itu harus ada yang unggul dan ada yang diunggulin, itu sangat biasa dimana-mana. Hanya bagi bangsa Indonesia, karena masih di awal-awal proses demokrasi, masih dalam pembelajaran. Barangkali masih belum siap seperti yang di Eropa, atau di Amerika. Mudah-mudahan ke depan bangsa semakin dewasa, kalau kalahpun tidak ada apa-apa. Yang menang tidak sombong, yang kalah tidak minder, tidak kecewa, tidak putus asa, seperti yang sudah berjalan di Eropa dan di Amerika.

T:

Tapi cukup menarik, mungkin bapak setuju, pertumbuhan demokrasi kita sejauh ini?

J:

Tapi ini, jauh….. mohon maaf, jauh lebih baik daripada saudara-saudara kita umat Islam yang di Timur Tengah. Yang di Mesir, yang di Suriah, yang di Irak, yang di Libya. Mereka masih jauh dari platform demokrasi atau peradaban, masih jauh. Mereka masih, bedil yang bicara. Senjata yang bicara. Mudah sekali perang saudara. Konflik horizontal mudah sekali terbakar, di Irak, di Yaman, di Libya. Di Libya sampai sekarang, barangkali akan terpecah menjadi dua, antara Libya Barat, Tripoli, dan Libya Timur, Benghazi. Sampai sekarang masih perang saudara.

T:

Kalau pak Said melihat, apa sebenarnya yang membuat Indonesia bisa melaju dengan lebih mulus, lebih rekat masyarakatnya, apa yang membuat kita ternyata bisa bersatu?

J:

Nah, antara lain, menurut saya lho ya, karena di Indonesia ini ada wadah, bukan hanya wadah politik, tapi wadah ormas. Seperti NU dan lain-lainnya. NU itu kan Ormas, terbesar. Jaringannya dari pusat sampai ke dusun, yang non-politik sebenarnya. Bukan partai politik. Justru warga NU ada di berbagai partai politik. Ada di semua partai politik. Di Demokrat ada, di PKB malah NU semua, di PPP ada, di Golkar ada. Sehingga kalau ada apa-apa kita ketemu di wadah NU, dan bisa menyelesaikan persoalan Insya Allah. Jadi kalau di Timur Tengah tidak ada ormas. Yang ada, pemerintah dengan kekuatan tentara dan polisinya, dan partai politik. Partai politik pun di Timur Tengah belum matang, belum betul-betul bagus, masih berdiri diatas fanatisme suku. Mahdab aliran juga, di Irak kan begitu. Sehingga mudah sekali konflik horizontal, dengan mengorbankan sekian ratus ribu nyawa. Tahun 2013 kemarin, di Irak itu nyawa yang melayang 700 ribu. Sekarang di 2014 ini udah entah berapa puluh ribu lagi. Alhamdullilah di kita tidak seperti itu. Padahal kita sukunya jauh lebih banyak lagi. Mahdab juga banyak. Agama juga, yang resmi 6, yang tidak resmi barangkali 20. Iya, agama Kapithayan, agama Kaharingan, Dharmogandul…

T:

Kalau tadi dikatakan ormas. Ini menunjukkan pentingnya peranan masyarakat, ini juga sesuatu yang penting di pilpres 2014, seperti bapak lihat kemarin. Peranan masyarakat, yang bapak ingin lihat dalam pemerintahan yang baru ini seperti apa?

J:

Setelah lengsernya Orde Baru, kita reformasi, terasa sekali bahwa masyarakat diberdayakan. Suara masyarakat didengar, peran masyarakat juga diberdayakan, masyarakat merasa semua diajak untuk bersama-sama membangun bangsa ini. Berbeda sekali dengan kita di masa Orde Baru. Yang menjalankan pembangunan hanya satu kelompok, mengesampingkan kelompok yang besar yang lain. Padahal negara manapun, sebesar apapun, semaju apapun, pasti membutuhkan peran masyarakat, Civil Society. Kalau di Eropa itu Civil Society nya jemaat gereja. Karena jemaat gereja tercatat, beda dengan masjid, kalau masjid kan tidak tercatat. Warga gereja itulah yang menjadi kekuatan dari Civil Society, kalau di Eropa. Kalau di kita ya ormas ini, NU, Muhammadiyah, lain-lain banyak sekali. Itu merupakan pilar pemersatu bangsa ini. Apalagi NU yang mempunyai jaringan dari pusat sampai ke dusun, yang warganya kurang lebih 70 juta.

Screen Shot 2014-07-31 at 9.54.37 AM

T:

Bapak sebagai Ketua Umum dari ormas Islam yang warganya 70 juta ini pastinya juga memiliki harapan tersendiri, mungkin ada sesuatu yang ingin difokuskan oleh pemerintahan yang baru. Apa itu?

J:

Ya, satu, singkat sajalah. Mohon diperhatikan: Kemiskinan! Kemiskinan masih parah. Masih kita jumpai. Misalkan ya, yang saya tahu dan saya jumpai sendiri, daerah Bondowoso, Ciamis Selatan, itu masih banyak orang yang dibawah (garis) kemiskinan. Belum yang di luar Jawa, yang saya tahu sendiri.

Kemudian pendidikan. Masih banyak masyarakat kita yang anak-anaknya belum masuk ke pendidikan, itu harus kita pikirkan. Percuma masjid besar, masjid bagus, tapi kanan-kirinya anak-anaknya telanjang, anak-anaknya kurus kering, tidak sekolah, masyarakatnya menganggur miskin, padahal masjidnya besar, gerejanya besar, itu percuma.

Agama yang tidak menyentuh perbaikan masyarakat, atau meningkatkan kehidupan masyarakat, percuma itu kalau hanya ritual saja.

T:

Dan ini menyentuh sampai mereka yang ada di desa-desa terkecil.

J:

Itu seperti perintah Al Quran sendiri itu: “Agama bukan hanya membangun kesalehan individual, tetapi juga kemajuan sosial.

T:

Anda percaya kalau memang fokusnya menghapuskan kemiskinan, ini akan berdampak lebih cepat terhadap pembangunan?

J:

Iya, dan NU siap bekerjasama. Siap diajak bekerja sama.

T:

Dalam bentuk apa bisa kerjasamanya?

J:

Menjalankan program-program. Tidak semua program pemerintah bisa dijalankan oleh pemerintah sendiri, kita selalu membantu. Program kesehatan, program pendidikan. Pesantren itu kan ada 22 ribu pesantren. Pemerintah tidak mungkin menangani pendidikan sendirian. Pesantren membantu. Begitu pula sekolah dibawah NU, itu juga membantu program pendidikan. Rumah Sakit – Rumah Sakit dibawah NU juga.

T:

Program lainpun siap dibantu oleh mereka yang ada di Pesantren dan Rumah Sakit tersebut?

J:

Ya, kami siap selalu untuk mensukseskan program pemerintah. Kami siap. Bahkan kadang-kadang, kami seringkali mendapatkan kepercayaan dari dunia internasional, dunia luar negeri, mereka lebih percaya di ormas daripada di pemerintah.

Screen Shot 2014-07-31 at 10.05.29 AM

T:

Kenapa begitu kira-kira?

J:

Banyak sekali bantuan yang kita terima, direct, dari donor Internasional, langsung ke NU. Mereka percaya barangkali dari NU tepat sasaran, atau benar digunakan dengan baik. Mudah-mudahan ke depan, semuanya mendapatkan kepercayaan dari dunia internasional.

T:

Mungkin ada pesan bagi masyarakat Indonesia, apapun alasannya, mungkin karena pilpres, tapi harapan kita saat ini kan merekatkan kembali bangsa Indonesia itu…

J:

Betul, sekali lagi saya ingatkan, bahwa negara Indonesia ini bukan negara agama, bukan negara suku, bukan negara Islam, bukan negara Katolik, Kristen, bukan negara Hindu, Buddha. Bukan negara suku Jawa, Sunda, bukan. Indonesia, yang di dalamnya terdiri dari sekian agama, sekian ratus suku, dan ini sudah kesepakatan “Founding Fathers” kita dulu. Negara bahasa arabnya “Darussallam”, negara yang damai. Ya bahasa politiknya “Nation State”, negara kebangsaan. Nah itu ulama sendiri, Kyai Hasyim Ashari, Kyai Wahab, Pendiri NU itu, kakeknya Gus Dur, sepakat, bahwa negara Indonesia ini bukan negara agama, tetapi negara nasional, yaitu Darussallam, negara yang damai, yang merangkul semua komponen yang ada.

T:

Dan pemerintah tentu butuh bantuan juga dalam menjalankannya, tidak bisa pemerintah saja.

J:

Tidak bisa sendiri.

T:

Siapa pihak-pihak yang mungkin pak Said ingin ajak dalam menjaganya?

J:

Semua….semua. Semua pihak. Semua komponen bangsa ini, marilah kita bergandengan tangan untuk menyelamatkan keutuhan NKRI. Bukan hanya utuh secara geografis, tapi hendaknya kita berdaulat ekonomi, berdaulat budaya, mandiri, kita tidak mudah diintervensi oleh asing, kita tidak mudah diakali, dibohongi oleh asing. Mari kita bangun keutuhan negara. Bukan hanya keutuhan geografis, tapi keutuhan ekonomi, keselamatan ekonominya, sumber daya alamnya yang kaya raya ini, budayanya, karakternya, kepribadiannya, mari kita jaga itu.


Profil singkat Kang Said bisa dilihat di:

http://profil.merdeka.com/indonesia/s/said-aqil-siradj/

Berita dukungan Kang Said pada Prabowo bisa dilihat disini:

http://nasional.kompas.com/read/2014/05/16/0911536/Said.Aqil.Dukung.Prabowo

Selamat merayakan Idul Fitri untuk semua pembaca yang merayakannya 🙂 Mohon maaf bila ada tulisan atau perkataan yang tidak berkenan.

Leave a comment