Daily Converse

Sopir Taksi Kotak-Kotak

Tidak semua yang kita sangka itu benar. Kalau kita berani-beraninya berpikir bahwa kita tahu segalanya, mulai titik itulah kita akan ditinggal oleh dunia yang terus berputar.

Tadi malam, seperti biasa, menempuh perjalanan pulang dengan taxi. Lumayan menarik, dapatnya sopir yang ternyata mengikuti dengan setia perkembangan berita seputar pemillu presiden. Pak Firman Satria kalau tidak salah namanya.

Dia memulai pembicaraan dengan pertanyaan sederhana: “Jadi gimana ini pak pilpres?!”

Mungkin karena orang yang dia jemput (saya) itu dari kantor media, maka dia merasa pastilah mengerti info2 terbaru tentang berita pilpres. (Padahal kan bisa aja orang yang dia jemput itu kerjanya di bagian reparasi peralatan audio studio, atau bahkan akuntan yang mengurusi laporan keuangan :p).

Dalam pembicaraan, dia tidak malu2 mengatakan bahwa dia menjatuhkan pilihan pada calon yang bertubuh kurus.

“Kenapa pilih dia, pak?” saya tanya.

“Ya kita kan baca track record nya pak. Menurut saya dia sudah banyak bukti kok. Saya juga gak yakin dia itu terpikir untuk korupsi bus, masa sebodoh itu.” dia jawab.

“Memangnya calon yang satu lagi kenapa? Kok bapak gak mau pilih?” saya tanya lagi.

“Wah enggak deh pak. Saya ngeri liat orang-orang di sekitarnya, koruptor semua. Haus kekuasaan semua. Saya sering argumen juga pak di media sosial sama teman-teman saya tentang ini. Banyak juga teman saya yang pilih dia.”

“Oh bapak aktif di media sosial? Facebook ya pak?”

“Ya facebook, ya twitter. Tapi kadang saya capek, soalnya mereka kadang cuma jelek2in aja, gak punya bukti. Ya kampanye hitam aja. Saya gak mau.”

Menurut saya, menarik juga ya, dia ternyata termasuk dari orang-orang yang aktif memantau perkembangan di media sosial. Tanpa bermaksud mengecilkan jangkauan komunikasi media sosial sopir taksi, tapi saya sadar bahwa di otak saya sudah terbentuk seperti apa sih bentuk dan latar belakang orang-orang yang aktif di media sosial itu. Sehingga saya agak terkejut melihat dia pun aktif. Itulah sempitnya pikiran saya. Semoga tobat ya setelah ini.

Iseng, saya tanya lagi: “Bapak gak nanya, kenapa mereka pilih si calon yang itu, dan bukan yang sama dengan bapak?”

Dia jawab: “Kayaknya sih mereka khawatir sama isu komunis nya pak. Saya sih gak percaya. Kejam banget kubu itu main tuduh komunis aja tanpa dasar apa-apa. Kan bisa aja mereka tuduh balik, toh sama-sama gak berdasar apa-apa. Saya malah pengen tanya balik, lah terus yang dilakukan FPI bener gitu? Gimana coba?”

Pembicaraan pun masih berlangsung hingga akhirnya saya tiba di rumah.

Sambil bayar, saya tidak sengaja melihat HP pak sopir taksinya di kursi sampingnya, sedang di charge, dengan desktop bergambar foto anak dan istrinya. HP Android yang layar besar.

Biar enak mantengin timeline ya pak? 🙂

Dilanjut pak! Kita kawal sama-sama proses demokrasi kita, meskipun hanya sebatas lewat dunia maya.

 

Leave a comment